Praktik akuntansi di Indonesia sejak zaman VOC (1642). Akuntan –
akuntan Belanda itu kemudian mendominasi akuntan di perusahaan –
perusahaan yng juga di monopoli penjajahan hingga abad 19. Pada masa
pendudukan Jepang, pendidikan akuntansi hanya diselenggarakan oleh
Departemen Keuangan berupa kursus ajun akuntansi di Jakarta. Persertanya
saat itu 30 orang termasuk Prof.Sumardjo dan Prof.Hadibroto. Bersama 4
akuntan lulusan pertama FEUI dan 6 lulusan Belanda, Prof.Sumardjo
merintis pendirian Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) tanggal 23 Desember
1957. Pada tahun yang sama pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap
perusahaan – perusahaan milik Belanda. Hal ini menyebabkan akuntan –
akuntan Belanda kembali ke negrinya dan pada saat itu akuntan Indonesia
semakin berkembang. Perkembangan itu semakin pesat setelah Presiden
meresmikan kegiatan pasar modal 10 Agustus 1977 yang membuat peranan
akuntansi dan laporan keuangan menjadi penting. Bulan Januari 1977
Mentri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 43/1977 Tentang Jas
Akuntan menggantikan Kepmenkeu 763/1968. Selain mewajibkan akuntan
publik memiliki sertifikat akuntan publik, juga akuntan publik asing
diperbolehkan praktik di Indonesia sepanjang memenuhi syarat.
Akuntansi masa kini telah berkembang dalam tahap masa kedewasaan
menjadi suatu aspek integral dari bisnis dan keuangan global. Keputusan
yang berasal dari data-data akuntansi, pengetahuan mengenai isu-isu
akuntansi internasional menjadi sangat penting untuk mendapatkan
interpretasi dan pemahaman yang tepat dalam komunikasi bisnis
internasional.
Sejarah akuntansi dan akuntan, memperlihatkan perubahan yang terus
menerus secara konsisten. Pada suatu waktu, akuntansi lebih mirip sistem
pencatatan bagi jasa-jasa perbankan tertentu dan bagi rencana
pengumpulan pajak. Kemudian muncul pembukuan double entry untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan usaha perdagangan. Saat ini akuntansi beroperasi
dalam lingkungan perilaku, sektor publik dan Internasional. Akuntansi
menyediakan informasi bagi pasar modal-pasar modal besar, baik domestik
maupun internasional.
BLOG
Sabtu, 08 Maret 2014
Cara Menghitung dan Menjurnal PPN dan PPh 22 Impor
Oct 31, 2011
Dahulu hanya perusahaan berstatus importir besar saja yang
dibikin sibuk oleh urusan administrasi impor, termasuk menjurnal PPN dan
PPh Impor (pasal 22) tentunya.
Seiring perkembangan ekonomi dan terjangan arus ‘perdangan-global’ yang kian deras—terutama sekali perdagangan elektronik (komputer dan gadget), saat ini bahkan counter HP yang badan usahanya masih peroranganpun sudah biasa mengimpor barang, meskipun mungkin kebanyakan via Singapore.
Patut diapresiasi tinggi, teman-teman yang yang bergerak di ruang terbatas (usaha kecil dan modal kecil) memiliki kesadaran yang begitu tinggi untuk melaksanakan kewajiban pajak mereka.
Sudah pasti mereka, para importir kecil, bukan hanya terbatas dalam hal skala usaha dan modal, tetapi juga menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia.
Hanya saja, yang saya sayangkan (meskipun masih bisa saya pahami), dalam keterbatasan SDM, mereka rata-rata cenderung menomor-duakan kebutuhan akan pegawai accounting.
Salah satu kawan semasa sekolah dahulu, yang akhir pekan kemarin sengaja datang ke rumah untuk tanya-tanya soal pajak dan pembukuan mengatakan,
“Untuk sementara saya belum merasa perlu cari orang accounting, toh anak-anak toko bisa hitung pakai kalkulator”
(tapi kenyataannya sampai sengaja berkunjung untuk tanya-tanya soal pajak dan accounting, gumam saya dalam hati).
“Sepertinya lebih baik saya nambah pegawai toko daripada angkat pegawai kantor hanya untuk urus pembukuan dan pajak. Sedangkan urusan import toh sudah diurus oleh DHL/Fedex”, dia menambahkan.
Sekalilagi bisa saya pahami. Ini adalah salah satu pengusaha yang salah persepsi tentang accounting dan pegawai accounting. Mungkin kawan saya ini berpikir kalau orang accounting sama fungsinya dengan kalkulator. Entahlah. Tapi saya memilih untuk tidak memabahas hal itu, karena saya pikir dia datang untuk minta bantuan (bukan untuk debat).
Kembali ke masalah utama… langsung ke cara menghitung PPN dan PPh Impor saja (saya ulang Bea masuknya juga mendapat pemahaman yang utuh).
Tetapi, mereka tidak tahu kalau ada sebagian dari biaya yang dikeluarkan tersebut sesungguhnya merupakan kredit pajak—mengurangi beban kewajiban pajak lainnya:
Contoh Kasus:
Tanggal 1 November 2011 PT. JAK impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya kirim $500, asuransi $25. Tarif bea masuknya 15%. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah Rp 8000/1 USD.
Atas impor barang tersebut, maka, importir, membayar:
Dalam contoh kasus ini, anggaplah PT. JAK sudah PKP, maka kredit pajaknya adalah:
Nah bagaimana mengkreditkan PPN dan PPh Impor? Sebelum ke situ, lebih baik jika saya bahas cara menjurnalnya terlebih dahulu, nanti sambil jalan saya bahas pengkreditannya.
Supaya bisa dijurnal, tentu harus ada akun-nya terlebih dahulu. Jika belum ada, maka buat akunnya terlebih dahulu. Setelah akun tersedia, maka atas beban Bea Masuk, PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22) di atas dicatat dengan jurnal (tanggal 1 November 2011), sbb:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Atau dijurnal sekaligus, seperti di bawah ini juga bisa:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Catatan: Jika langsung dibayar tunai, akun “Utang” diganti dengan “Kas”. Seperti terlihat di atas, untuk sementara semua biaya terkait dengan impor berada di kelompok debit (aktiva).
Selanjutnya tinggal soal mengkreditkan saja. Pindah ke paragraf selanjutnya….
Anggap faktur pajak masukan (FPM) dan faktur pajak keluaran (FPK), semuanya sudah dijurnal dengan benar. Jika semua FPM dan FPK sudah dijurnal dengan benar, maka saldo PPN terutang angkanya pasti Rp 12,000,000 ( = Rp 15,000,000 – Rp 3,000,000)
Catatan: Lain kali saya akan bahas khusus jurnal PPN, mulai dari pembelian sampai penjualan.
Anggap saldo PPN Terutang-nya sudah benar, yaitu Rp 12,000,000. Jika PT. JAK TIDAK TAHU bahwa PPN impor-nya bisa dikreditkan, maka sudah pasti PT. JAK akan bayar semuanya, dengan jurnal:
[Debit]. Utang – PPN = Rp 12,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 12,000,000
Padahal, jika PT. JAK tahu PPN Impor-nya bisa dikreditkan, sebelum PPN terutang-nya dibayar seharusnya saldo akun ‘PPN Impor’ tadi dilawankan dengan ‘Utang PPN’ terlebih dahulu—artinya: PPN Impor yang tadinya ada di sisi debit dipindahkan ke sisi kredit, lawannya utang PPN di sisi debit:
[Debit]. Utang PPN = Rp 9,683,000
[Kredit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
Setelah jurnal pengkreditan PPN impor dimasukan maka otomatis saldo Utang PPN akan turun menjadi Rp 2,317,000 saja ( = Rp 12,000,000 – Rp 9,683,000). Dengan demikian, maka jurnal pembayaran PPN-nya menjadi:
[Debit]. Utang PPN = Rp 2,317,000
[Kredit]. Kas = Rp 2,137,000
Bandingkan Kas yang dikeluarkan antara yang sebelum dengan yang setelah PPN Impor dikreditkan, sangat jauh bukan? Sayang jika tidak dikreditkan. Tentu, bukti pembayaran PPN Impor harus disertakan dalam laporan PPN bersama-sama dengan faktur pajak masukan (FPM). Demikian terus setiap bulannya.
Nah itu baru pengkreditan PPN Impor-nya. Bagaimana dengan PPh Impor (Pasal 22)-nya? Nanti dikreditkan saat akan tutup buku tahun fiskal (31 Desember 2011).
Anggaplah Neraca PT JAK per 31 Desember 2011 menunjukan adanya ‘Utang PPh Pasal’ sebesar Rp 25,000,000 di sisi Passive (Kewajiban). Sementara itu di sisi aktiva ada saldo ‘Uang Muka Pajak (Pasal 25) menunjukan angka Rp 16,000,000 dan jangan lupa ada saldo PPh Impor juga sebesar Rp 7,262,250.
Sebelum Utang PPh dibayarkan perlu dibuatkan jurnal penyesuaian terlebih dahulu, untuk melawankan saldo uang muka pajak (PPh Pasal 25) dan mengkreditkan PPh Impor—sehingga saldo keduanya menjadi nol. Jurnal penyesuaiannya sbb:
[Debit]. Utang PPh = Rp 16,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 16,000,000
Dengan jurnal ini, maka saldo Uang Muka PPh (Pasal 25) menjadi nol, dan saldo Utang PPh berkurang sebesar yang sama sehingga tinggal Rp 9,000,000 ( = Rp 25,000,000 – Rp 16,000,000) saja.
Terakhir kreditkan PPh Impor (Pasal 22) dengan cara memindahkannya ke sisi kredit, dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh = Rp 7,262,250
[Kredit]. PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Dengan jurnal terakhir ini, maka saldo PPh Impor di aktiva jadi nol, dan saldo Utang PPh menurun sebesar yang sama sehingga saldonya tinggal Rp 1,737,750 ( = 9,000,000 – 7,262,250) saja. Nah angka saldo sebesar Rp 1,737,750 inilah yang dibayarkan. Saat dibayar jurnalnya:
[Debit]. Utang PPh (Pasal 29) = Rp 1,737,750
[Kredit]. Kas = Rp 1,737,750
Setelah pembayaran Utang PPh 29 dan jurnalnya dimasukan maka posisi saldo akan menjadi sbb:
Selanjutnya, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, lain kesempatan saya akan bahas perlakuan PPN dari pembelian bahan baku sampai ke pembayaran PPN penjualan. Mungkin PPh juga saya bahas, tetapi secara bertahap pastinya. Selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
Seiring perkembangan ekonomi dan terjangan arus ‘perdangan-global’ yang kian deras—terutama sekali perdagangan elektronik (komputer dan gadget), saat ini bahkan counter HP yang badan usahanya masih peroranganpun sudah biasa mengimpor barang, meskipun mungkin kebanyakan via Singapore.
Patut diapresiasi tinggi, teman-teman yang yang bergerak di ruang terbatas (usaha kecil dan modal kecil) memiliki kesadaran yang begitu tinggi untuk melaksanakan kewajiban pajak mereka.
Sudah pasti mereka, para importir kecil, bukan hanya terbatas dalam hal skala usaha dan modal, tetapi juga menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia.
Hanya saja, yang saya sayangkan (meskipun masih bisa saya pahami), dalam keterbatasan SDM, mereka rata-rata cenderung menomor-duakan kebutuhan akan pegawai accounting.
Salah satu kawan semasa sekolah dahulu, yang akhir pekan kemarin sengaja datang ke rumah untuk tanya-tanya soal pajak dan pembukuan mengatakan,
“Untuk sementara saya belum merasa perlu cari orang accounting, toh anak-anak toko bisa hitung pakai kalkulator”
(tapi kenyataannya sampai sengaja berkunjung untuk tanya-tanya soal pajak dan accounting, gumam saya dalam hati).
“Sepertinya lebih baik saya nambah pegawai toko daripada angkat pegawai kantor hanya untuk urus pembukuan dan pajak. Sedangkan urusan import toh sudah diurus oleh DHL/Fedex”, dia menambahkan.
Sekalilagi bisa saya pahami. Ini adalah salah satu pengusaha yang salah persepsi tentang accounting dan pegawai accounting. Mungkin kawan saya ini berpikir kalau orang accounting sama fungsinya dengan kalkulator. Entahlah. Tapi saya memilih untuk tidak memabahas hal itu, karena saya pikir dia datang untuk minta bantuan (bukan untuk debat).
Kembali ke masalah utama… langsung ke cara menghitung PPN dan PPh Impor saja (saya ulang Bea masuknya juga mendapat pemahaman yang utuh).
Cara Menghitung PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Mengenai custom clearance dan segala tetek-bengeknya, betul, jika pengiriman barang-impornya via kurir, sudah diurus oleh kurir—importir tinggal bayar ke mereka saja, tak perlu bayar ke Bea Cukai (DJBC) maupun ke kantor pajak.Tetapi, mereka tidak tahu kalau ada sebagian dari biaya yang dikeluarkan tersebut sesungguhnya merupakan kredit pajak—mengurangi beban kewajiban pajak lainnya:
- PPN Impor – Mengurangi PPN terhutang (Jika sudah PKP)
- PPh 22 (Impor) – Mengurangi PPh 29 Badan/Perorangan di SPT
Contoh Kasus:
Tanggal 1 November 2011 PT. JAK impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya kirim $500, asuransi $25. Tarif bea masuknya 15%. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah Rp 8000/1 USD.
Atas impor barang tersebut, maka, importir, membayar:
- Bea Masuk = ($10,000 + 500 + 25) x 15% = $1,578.75
- PPN Impor = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 10% = $1,210.38
- PPh Impor (Pasal 22) = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 7.5% = $907.78
- Bea Masuk = $1,578.75 x Rp 8000 = Rp 12,630,000
- PPN Impor = $1,210.38 x Rp 8000 = Rp 9,683,000
- PPh Impor (Pasal 22) = $907.78 x Rp 8000 = Rp 7,262,250
Dalam contoh kasus ini, anggaplah PT. JAK sudah PKP, maka kredit pajaknya adalah:
- PPN Impor = Rp 9,683,000
- PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Nah bagaimana mengkreditkan PPN dan PPh Impor? Sebelum ke situ, lebih baik jika saya bahas cara menjurnalnya terlebih dahulu, nanti sambil jalan saya bahas pengkreditannya.
Cara Menjurnal PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Saya tidak akan membahas tehnis pengisian formulir SPT PPN maupun PPh—saya yakin anda semua sudah tahu caranya (jika belum, bisa Googling kan?). Saya akan bahas jurnalnya saja. Tentu dengan logika dibalik jurnalnya. Sehingga setelah membaca ini, bukan saja anda bisa menjurnal PPN dan PPh Impor tetapi juga memahami logika pengkreditannya, termasuk cara menjurnal pengkreditannya itu sendiri.Supaya bisa dijurnal, tentu harus ada akun-nya terlebih dahulu. Jika belum ada, maka buat akunnya terlebih dahulu. Setelah akun tersedia, maka atas beban Bea Masuk, PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22) di atas dicatat dengan jurnal (tanggal 1 November 2011), sbb:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Atau dijurnal sekaligus, seperti di bawah ini juga bisa:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Catatan: Jika langsung dibayar tunai, akun “Utang” diganti dengan “Kas”. Seperti terlihat di atas, untuk sementara semua biaya terkait dengan impor berada di kelompok debit (aktiva).
Selanjutnya tinggal soal mengkreditkan saja. Pindah ke paragraf selanjutnya….
Mengkreditkan PPN dan PPh Impor
Setelah tutup buku bulan November 2011, diketahui PT. JAK ada penjualan lokal sebesar Rp 150,000,000. Disamping itu, ada pembelian bahan baku lokal dengan Faktur Pajak Masukan sebesar Rp 3,000,000. Berapa PPN Terutang PT. JAK untuk bulan November?Anggap faktur pajak masukan (FPM) dan faktur pajak keluaran (FPK), semuanya sudah dijurnal dengan benar. Jika semua FPM dan FPK sudah dijurnal dengan benar, maka saldo PPN terutang angkanya pasti Rp 12,000,000 ( = Rp 15,000,000 – Rp 3,000,000)
Catatan: Lain kali saya akan bahas khusus jurnal PPN, mulai dari pembelian sampai penjualan.
Anggap saldo PPN Terutang-nya sudah benar, yaitu Rp 12,000,000. Jika PT. JAK TIDAK TAHU bahwa PPN impor-nya bisa dikreditkan, maka sudah pasti PT. JAK akan bayar semuanya, dengan jurnal:
[Debit]. Utang – PPN = Rp 12,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 12,000,000
Padahal, jika PT. JAK tahu PPN Impor-nya bisa dikreditkan, sebelum PPN terutang-nya dibayar seharusnya saldo akun ‘PPN Impor’ tadi dilawankan dengan ‘Utang PPN’ terlebih dahulu—artinya: PPN Impor yang tadinya ada di sisi debit dipindahkan ke sisi kredit, lawannya utang PPN di sisi debit:
[Debit]. Utang PPN = Rp 9,683,000
[Kredit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
Setelah jurnal pengkreditan PPN impor dimasukan maka otomatis saldo Utang PPN akan turun menjadi Rp 2,317,000 saja ( = Rp 12,000,000 – Rp 9,683,000). Dengan demikian, maka jurnal pembayaran PPN-nya menjadi:
[Debit]. Utang PPN = Rp 2,317,000
[Kredit]. Kas = Rp 2,137,000
Bandingkan Kas yang dikeluarkan antara yang sebelum dengan yang setelah PPN Impor dikreditkan, sangat jauh bukan? Sayang jika tidak dikreditkan. Tentu, bukti pembayaran PPN Impor harus disertakan dalam laporan PPN bersama-sama dengan faktur pajak masukan (FPM). Demikian terus setiap bulannya.
Nah itu baru pengkreditan PPN Impor-nya. Bagaimana dengan PPh Impor (Pasal 22)-nya? Nanti dikreditkan saat akan tutup buku tahun fiskal (31 Desember 2011).
Anggaplah Neraca PT JAK per 31 Desember 2011 menunjukan adanya ‘Utang PPh Pasal’ sebesar Rp 25,000,000 di sisi Passive (Kewajiban). Sementara itu di sisi aktiva ada saldo ‘Uang Muka Pajak (Pasal 25) menunjukan angka Rp 16,000,000 dan jangan lupa ada saldo PPh Impor juga sebesar Rp 7,262,250.
Sebelum Utang PPh dibayarkan perlu dibuatkan jurnal penyesuaian terlebih dahulu, untuk melawankan saldo uang muka pajak (PPh Pasal 25) dan mengkreditkan PPh Impor—sehingga saldo keduanya menjadi nol. Jurnal penyesuaiannya sbb:
[Debit]. Utang PPh = Rp 16,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 16,000,000
Dengan jurnal ini, maka saldo Uang Muka PPh (Pasal 25) menjadi nol, dan saldo Utang PPh berkurang sebesar yang sama sehingga tinggal Rp 9,000,000 ( = Rp 25,000,000 – Rp 16,000,000) saja.
Terakhir kreditkan PPh Impor (Pasal 22) dengan cara memindahkannya ke sisi kredit, dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh = Rp 7,262,250
[Kredit]. PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Dengan jurnal terakhir ini, maka saldo PPh Impor di aktiva jadi nol, dan saldo Utang PPh menurun sebesar yang sama sehingga saldonya tinggal Rp 1,737,750 ( = 9,000,000 – 7,262,250) saja. Nah angka saldo sebesar Rp 1,737,750 inilah yang dibayarkan. Saat dibayar jurnalnya:
[Debit]. Utang PPh (Pasal 29) = Rp 1,737,750
[Kredit]. Kas = Rp 1,737,750
Setelah pembayaran Utang PPh 29 dan jurnalnya dimasukan maka posisi saldo akan menjadi sbb:
- PPh Impor (Pasal 22) = 0
- Uang Muka PPh (Pasal 25) = 0
- Utang PPh (Pasal 29) tahun fiskal 2011 = 0
Selanjutnya, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, lain kesempatan saya akan bahas perlakuan PPN dari pembelian bahan baku sampai ke pembayaran PPN penjualan. Mungkin PPh juga saya bahas, tetapi secara bertahap pastinya. Selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
Prosedur Translasi Ke Dalam Mata Uang Pelaporan (Presentation Currency)
Prosedur ini dipergunakan jika mata uang fungsional perusahaan anak adalah mata uang lokal dimana perusahaan anak beroperasi.
Misalnya:
dari contoh kasus sebelumnya. JAK Corp berkedudukan di Indonesia
memiliki perusahaan anak JAK Pte Ltd yang beroperasi di Singapore. Mata
uang lokal Singapore sudah pasti SIN$. Jika (setelah diteliti), ternyata
mata uang fungsional JAK Pte Ltd kebetulan juga SIN$, maka prosedur
yang dipergunakan adalah “prosedur translasi ke dalam mata uang pelaporan.”
“Apa itu mata uang pelaporan?” mungkin ada yang bertanya seperti itu.
Misalnya:
JAK Corp berkedudukan di Indonesia, listing di BEJ, mata uang pelaporan JAK Corp di BEJ adalah Indonesian Rupiah (IDR). Merujuk ke contoh kasus sebelumnya, maka akuntan JAK Corp perlu mentranlasikan laporan keuangan anak perusahaannya yang di Singapore (JAK Pte Ltd)—yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional—ke dalam satuan IDR, sebelum diikutsertakan (atau dikonsolidasikan) ke dalam laporan keuangan JAK Corp di Indonesia.
(Note: translasi tidak harus dilakukan oleh perusahaan induk, pada prakteknya bisa saja dilakukan oleh anak perusahaan sebelum mengirimkan laporan keuangannya ke perusahaan induk).
Penting untuk diketahui: ”mata uang lokal” dimana perusahaan induk berkedudukan TIDAK serta-merta menjadi mata uang pelaporan. Dalam kasus JAK Corp yang berdudukan di Indonesia tadi misalnya, jika disamping listing di BEJ JAk Corp juga listing di Nasdaq (Amerika Serikat), maka mata uang pelaporannya untuk di Nasdaq adalah USD. Atau bisa jadi mengunakan USD baik untuk di BEJ maupun di Nasdaq. Jika ini situasinya, maka laporan keuangan JAK Pte Ltd (yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional) ditranslasikan ke dalam USD.
Nah, bagaimana prosedur translasi ke dalam mata uang pelaporan? Berikut adalah langkah-langkahnya:
Langkah-1. Identifikasi dan Tentukan Mata Uang Fungsional Anak Perusahaan (subsidiary) – Seperti sudah saya sampaikan di atas, anak perusahaan bisa saja bertransaksi dalam beragam mata uang. Untuk itu, sebelum translasi dilakukan, perlu mengidentifikasi mata uang fungsionalnya. (Lihat caranya dalam penjelasan sebelumnya mengenai konsep mata uang fungsinal)
Langkah-2. Konversikan Transaksi Anak Perusahaan Ke Dalam Mata Uang Fungsionalnya – Setelah di langkah-1 selesai dilakukan (dan mata uang fungsional telah diketahui), maka di langkah yang kedua ini anda mengkonversikan semua transkasi yang terjadi di perusahan anak (apapun mata uangnya) ke dalam mata uang fungsionalnya. Penting untuk diperhatikan, semua anak perusahaan sebaiknya menggunakan mata uang fungsional secara konsisten dari tahun-ke-tahun, sehingga ada basis perbandingan yang pasti ketika pelaporan muti-tahun diperlukan.
Langkah-3. Konversikan hasil Laporan Posisi Keuangan (Neraca) ke Mata Uang Pelaporan – Setelah semua laporan keuangan anak perusahaan dikonversikan ke mata uang fungsionalnya (langkah-2), di langkah ketiga ini anda mengkonversikan semua laporan keuangan (baik anak perusahaan maupun induknya). Bisa saja perusahaan induk juga bertransaksi dalam beragam mata uang, selain mata uang pelaporannya. Misalnya: untuk pelaporan listing di Nasdaq, JAK corp menggunakan USD sebagai mata uang pelporan, sementara sebagian besar transkasi di JAK corp dalam IDR. Dalam situasi ini maka laporan posisi keuangan (Neraca) JAK corp—sebagai perusahaan induk-pun perlu dikonversikan ke dalam mata uang pelaporan.
Yups. Hanya tiga langkah saja. Mudah bukan?
Oopps.. ada ketentuan khusus yang harus diperhatikan APABILA perusahaan (entah anak atau induk perusahaan) berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami inflasi di luar batas kewajaran (bahasa standardnya “Hyperinflasi”). IAS 21 menyebutkan beberapa indikasi utama yang menunjukan adanya hyperinflasi—dalam suatu negara, yaitu:
Prosedur translasi khusus seperti apa yang harus dipergunakan bila perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi?
Jika perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi, menurut IFRS (IAS 21), maka LANGKAH-3 diatas harus memperhatikan 4 ketentuan berikut ini:
“Apa itu mata uang pelaporan?” mungkin ada yang bertanya seperti itu.
Yang dimaksud dengan “mata uang pelaporan” (presentation currency) adalah mata uang yang dipergunakan oleh perusahaan induk dalam melaporkan seluruh aktivitas operasional usahanya, termasuk operasional anak-anak perusahaan yang ada di luar negeri.Sehingga “Translasi ke dalam mata uang pelaporan” artinya, mengkonversikan laporan keuangan anak perusahaan—yang menggunakan mata uang lokal dimana beroperasi sebagai mata uang fungsional—ke dalam dalam mata uang pelaporan perusahaan induk.
Misalnya:
JAK Corp berkedudukan di Indonesia, listing di BEJ, mata uang pelaporan JAK Corp di BEJ adalah Indonesian Rupiah (IDR). Merujuk ke contoh kasus sebelumnya, maka akuntan JAK Corp perlu mentranlasikan laporan keuangan anak perusahaannya yang di Singapore (JAK Pte Ltd)—yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional—ke dalam satuan IDR, sebelum diikutsertakan (atau dikonsolidasikan) ke dalam laporan keuangan JAK Corp di Indonesia.
(Note: translasi tidak harus dilakukan oleh perusahaan induk, pada prakteknya bisa saja dilakukan oleh anak perusahaan sebelum mengirimkan laporan keuangannya ke perusahaan induk).
Penting untuk diketahui: ”mata uang lokal” dimana perusahaan induk berkedudukan TIDAK serta-merta menjadi mata uang pelaporan. Dalam kasus JAK Corp yang berdudukan di Indonesia tadi misalnya, jika disamping listing di BEJ JAk Corp juga listing di Nasdaq (Amerika Serikat), maka mata uang pelaporannya untuk di Nasdaq adalah USD. Atau bisa jadi mengunakan USD baik untuk di BEJ maupun di Nasdaq. Jika ini situasinya, maka laporan keuangan JAK Pte Ltd (yang menggunakan SIN$ sebagai mata uang fungsional) ditranslasikan ke dalam USD.
Nah, bagaimana prosedur translasi ke dalam mata uang pelaporan? Berikut adalah langkah-langkahnya:
Langkah-1. Identifikasi dan Tentukan Mata Uang Fungsional Anak Perusahaan (subsidiary) – Seperti sudah saya sampaikan di atas, anak perusahaan bisa saja bertransaksi dalam beragam mata uang. Untuk itu, sebelum translasi dilakukan, perlu mengidentifikasi mata uang fungsionalnya. (Lihat caranya dalam penjelasan sebelumnya mengenai konsep mata uang fungsinal)
Langkah-2. Konversikan Transaksi Anak Perusahaan Ke Dalam Mata Uang Fungsionalnya – Setelah di langkah-1 selesai dilakukan (dan mata uang fungsional telah diketahui), maka di langkah yang kedua ini anda mengkonversikan semua transkasi yang terjadi di perusahan anak (apapun mata uangnya) ke dalam mata uang fungsionalnya. Penting untuk diperhatikan, semua anak perusahaan sebaiknya menggunakan mata uang fungsional secara konsisten dari tahun-ke-tahun, sehingga ada basis perbandingan yang pasti ketika pelaporan muti-tahun diperlukan.
Langkah-3. Konversikan hasil Laporan Posisi Keuangan (Neraca) ke Mata Uang Pelaporan – Setelah semua laporan keuangan anak perusahaan dikonversikan ke mata uang fungsionalnya (langkah-2), di langkah ketiga ini anda mengkonversikan semua laporan keuangan (baik anak perusahaan maupun induknya). Bisa saja perusahaan induk juga bertransaksi dalam beragam mata uang, selain mata uang pelaporannya. Misalnya: untuk pelaporan listing di Nasdaq, JAK corp menggunakan USD sebagai mata uang pelporan, sementara sebagian besar transkasi di JAK corp dalam IDR. Dalam situasi ini maka laporan posisi keuangan (Neraca) JAK corp—sebagai perusahaan induk-pun perlu dikonversikan ke dalam mata uang pelaporan.
Yups. Hanya tiga langkah saja. Mudah bukan?
Oopps.. ada ketentuan khusus yang harus diperhatikan APABILA perusahaan (entah anak atau induk perusahaan) berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami inflasi di luar batas kewajaran (bahasa standardnya “Hyperinflasi”). IAS 21 menyebutkan beberapa indikasi utama yang menunjukan adanya hyperinflasi—dalam suatu negara, yaitu:
- Perilaku populasi terhadap mata uang lokal;
- Harga yang bertautan dengan indeks harga; dan
- Akumulasi rate inflasi selama tiga tahun mendekati atau mencapai 100%.
Prosedur translasi khusus seperti apa yang harus dipergunakan bila perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi?
Jika perusahaan berada dalam lingkungan ekonomi yang mengalami hyperinflasi, menurut IFRS (IAS 21), maka LANGKAH-3 diatas harus memperhatikan 4 ketentuan berikut ini:
- Tranlasikan semua ASET dan LIABILITAS dengan menggunakan “nilai tukar penutupan” (closing rate)—termasuk komparasinya (jika ada). Sebagai informasi tambahan, yang dimaksud dengan closing rate dalam hal ini adalah “spot exchange rate” pada TANGGAL NERACA. Sementara yang dimaksud dengan “spot exchange rate” adalah nilai tukar yang bisa direalisasikan segera untuk pertukaran mata uang pada waktu tertentu (dalam hal ini adalah pada tanggal neraca).
- Translasikan (konversikan) semua PENDAPATAN dan BIAYA/COST dari masing-masing Laporan Laba Rugi—termasuk komparasinya (jika ada)—dengan menggunakan nilai tukar (exchange rate) pada TANGGAL TRANSAKSI. Jika rate per transaksi tidak diketahui, sebagai alternative anda bisa menggunaka “rate rata-rata” selama kurun waktu periode pelaporan.
- Akui selisih pertukaran—atas konversi yang dilakukan—di akun “Pendapatan Kemprehsif Lain” pada laporan “Laba/Rugi Komperhensive.” Pada Neraca konsolidasi perusahaan induk, selisih pertukaran diamasukan ke dalam kelompok “Ekuitas” sebagai “Cadangan Translasi Mata Uang Asing” hingga anak perusahaan ditutup (tidak beroperasi lagi). Lihat prosedur berikutnya…
- Pada saat penutupan (penghentian operasional) anak perusahaan, akumulasi nilai selisih pertukaran yang selama ini berada di akun “Cadangan Translasi Mata Uang Asing” direklasifikasikan dari equity ke Laba atau Rugi (sebagai adjustment) bersamaan dengan pengakuan “Laba/Rugi Penutupan Anak Perusahaan.”
Prosedur Translasi (Laporan Keuangan) Mata Uang Asing Sesuai IFRS (Part 1)
Jun 3, 2012
Translasi (atau konversi) mata uang asing dalam laporan keuangan, buat saya pribadi, bukan sesuatu yang sederhana, apalagi jika harus mengikuti standar pelaporan keuangan yang terus berubah dari waktu-ke-waktu. Prosedurnya itu sendiri sudah rumit, ditambah lagi dengan langkah-langkah prosedur yang lumayan panjang, sehingga urusan mentranslasikan laporan keuangan bermata uang asing, bukan bekerjaan yang mudah.
Tapi jangan khawatir, mudah-mudahan, tulisan JAK ini bisa membantu anda untuk memahami prosedur translasi laporan keuangan bermata-uang asing dengan lebih mudah.
Dalam IFRS, teknis dan prosedur translasi laporan keuangan dengan mata uang asing diatur dalam IAS 21. Dalam PSAK, saya yakin ini diberi kode PSAK 21. Jika anda punya cukup waktu dan bisa memahami panduan IFRS asli dan PSAK, silahkan baca. Jika tidak, silahkan ikuti tulisan ini hingga selesai.
Ada 2 metode yang disarankan oleh IFRS, dalam mentranslasikan laporan keuangan anak perusahaan (subsidiary entities) yang menggunakan mata uang asing, yaitu:
- Translasi ke dalam mata uang pelaporan (presentation currency); dan
- Translasi ke dalam mata uang fungsional (functional currency).
Tak kalah pentingnya untuk diketahui oleh mereka yang melakukan pekerjaan translasi laporan keuangan, yaitu “Disklosur khusus—untuk situasi tertentu—sehubungan dengan translasi mata uang asing”.
Saya akan bahas keempat topik tersebut, lewat seri tulisan ini (mudah-mudahan tidak kepanjangan) secara bertahap, satu-per-satu, setahap-demi-setahap. Tetapi sebelum itu, ada satu hal yang sangat penting untuk diketahui yaitu mengenai…
Apa itu Mata Uang Fungsional dan Apa Itu Mata Uang Asing?
Memahami konsep “mata uang fungsional” dan “mata uang asing” adalah kunci untuk memahami prosedur translasi laporan keuangan, secara keseluruhan. Tanpa pemahaman ini, mustahil bisa memahami prosedur translasi laporan keuangan dengan benar.Kita mulai dengan pertanyaan: apa itu mata uang fungsional (functional currency)?
IFRS mendefinisikannya mata uang fungsional sebagai:
“the currency of the primary economic environment in which an entity operates.”Sehingga, jika saya terjemahkan secara bebas, maka:
“Mata uang fungsional adalah mata uang (yang dipergunakan) dalam lingkungan ekonomi utama dimana perusahaan beroperasi”.Apakah definisi di atas bisa dipahami? Saya yakin tidak banyak orang yang bisa langsung paham. Begitulah bahasa standard, memang agak sulit untuk dipahami. Itu sebabnya saya agak enggan menggunakan bahasa standar (atau ilmiah). Dalam definisi versi IFRS di atas misalnya, saya yakin tidak semua orang paham dengan istilah “primary economic environment”—bahkan untuk bule sekalipun. Kalau harfiahnya, mungkin semua orang juga tahu, bagaimana dengan makna kontekstualnya?
Yang dimaksud dengan “mata uang lingkungan ekonomi utama” dalam konteks ini, biasanya (tapi tidak selalu), adalah: mata uang yang dihasilkan atau dibelanjakan, secara mayoritas, dalam operasional perusahan.Lumrah dan logisnya (meskipun tidak selalu), perusahaan menghasilkan dan membelanjakan kas dalam mata uang lokal dimana perusahaan beroperasi. Misalnya: perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia, lumrahnya, menghasilkan dan membelanjakan kas dalam mata uang Rupiah (IDR), secara mayoritas—meskipun ada yang dalam mata uang asing tetapi porsinya tidak banyak.
Sehingga, mata uang fungsional biasanya (meskipun tidak selalu) adalah mata uang lokal dimana perusahaan beroperasi. Misalnya: JAK Corp. punya anak perusahaan bernama JAK Pte Ltd yang beroperasi di Singapore. Maka, lumrahnya, mata uang fungsionalnya JAK Pte Ltd adalah Singapore Dollar (SIN$).
Bagaimanapun juga, seperti telah saya sebutkan berulangulang, “mata uang lokal” TIDAK SELALU otomatis menjadi mata uang fungsional.Mata uang fungsional, menurut IFRS, adalah mata uang yang:
- secara mayoritas, mempengaruhi harga jual dan harga beli barang/jasa, ATAU digunakan sebagai pengukur nilai beli atau nilai jual oleh regulator dimana perusahaan beroperasi.
- secara mayoritas mempengaruhi harga bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya-biaya lain, sehubungan dengan pembuatan produk/jasa yang diperdagangkan.
“Mata uang lokal” dimana anak perusahaan beroperasi TIDAK OTOMATIS menjadi mata uang fungsionalnya. Bisa saja mata uang fungsionalnya adalah mata uang asing, jika kriteria di atas terpenuhi. Ini penting. Harus diingat baik-baik.Sebagai lawan dari mata uang fungsional (functional currency) adalah “mata uang asing” (foreign currency). Sehingga yang dimaksudkan dengan “mata uang asing”—dalam konteks pelaporan keuangan—adalah: mata uang selain mata uang fungsional. Dan yang dimaksudkan dengan “transaksi mata uang asing” adalah transkasi-transaksi yang diukur (atau istilah standarnya “didenominasi”) dalam satuan mata uang selain mata uang fingsional atau memerlukan pelunasan dalam mata uang selain mata uang fungsional—yang timbul ketika perusahaan:
- Membeli dan menjual barang atau jasa dalam bentuk kredit yang harganya didenominasi (diukur) dalam satuan mata uang asing.
- Meminjam atau meminjamkan dana atau utang-piutang yang didenominasi dalam mata uang asing.
- Memperoleh/membeli atau menjual aset tetap dalam mata uang asing.
- Melunasi kewajiban yang didenominasi (diukur) dalam satuan mata uang asing.
Mengenai konsep mata uang fungsional, mata uang asing, dan transaksi mata uang asing, saya rasa sudah cukup jelas (jika belum, silahkan dibaca kembali, pelan-pelan atau tanyakan via ruang komentar). Berikutnya kita bahas bahas prosedur translasi, satu-per-satu, langkah-demi-langkah. Kita mulai dengan translasi ke dalam mata uang pelaporan…
Langganan:
Postingan (Atom)