Dahulu hanya perusahaan berstatus importir besar saja yang
dibikin sibuk oleh urusan administrasi impor, termasuk menjurnal PPN dan
PPh Impor (pasal 22) tentunya.
Seiring perkembangan ekonomi dan terjangan arus ‘perdangan-global’ yang kian deras—terutama sekali perdagangan elektronik (komputer dan gadget), saat ini bahkan counter HP yang badan usahanya masih peroranganpun sudah biasa mengimpor barang, meskipun mungkin kebanyakan via Singapore.
Patut diapresiasi tinggi, teman-teman yang yang bergerak di ruang terbatas (usaha kecil dan modal kecil) memiliki kesadaran yang begitu tinggi untuk melaksanakan kewajiban pajak mereka.
Sudah pasti mereka, para importir kecil, bukan hanya terbatas dalam hal skala usaha dan modal, tetapi juga menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia.
Hanya saja, yang saya sayangkan (meskipun masih bisa saya pahami), dalam keterbatasan SDM, mereka rata-rata cenderung menomor-duakan kebutuhan akan pegawai accounting.
Salah satu kawan semasa sekolah dahulu, yang akhir pekan kemarin sengaja datang ke rumah untuk tanya-tanya soal pajak dan pembukuan mengatakan,
“Untuk sementara saya belum merasa perlu cari orang accounting, toh anak-anak toko bisa hitung pakai kalkulator”
(tapi kenyataannya sampai sengaja berkunjung untuk tanya-tanya soal pajak dan accounting, gumam saya dalam hati).
“Sepertinya lebih baik saya nambah pegawai toko daripada angkat pegawai kantor hanya untuk urus pembukuan dan pajak. Sedangkan urusan import toh sudah diurus oleh DHL/Fedex”, dia menambahkan.
Sekalilagi bisa saya pahami. Ini adalah salah satu pengusaha yang salah persepsi tentang accounting dan pegawai accounting. Mungkin kawan saya ini berpikir kalau orang accounting sama fungsinya dengan kalkulator. Entahlah. Tapi saya memilih untuk tidak memabahas hal itu, karena saya pikir dia datang untuk minta bantuan (bukan untuk debat).
Kembali ke masalah utama… langsung ke cara menghitung PPN dan PPh Impor saja (saya ulang Bea masuknya juga mendapat pemahaman yang utuh).
Tetapi, mereka tidak tahu kalau ada sebagian dari biaya yang dikeluarkan tersebut sesungguhnya merupakan kredit pajak—mengurangi beban kewajiban pajak lainnya:
Contoh Kasus:
Tanggal 1 November 2011 PT. JAK impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya kirim $500, asuransi $25. Tarif bea masuknya 15%. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah Rp 8000/1 USD.
Atas impor barang tersebut, maka, importir, membayar:
Dalam contoh kasus ini, anggaplah PT. JAK sudah PKP, maka kredit pajaknya adalah:
Nah bagaimana mengkreditkan PPN dan PPh Impor? Sebelum ke situ, lebih baik jika saya bahas cara menjurnalnya terlebih dahulu, nanti sambil jalan saya bahas pengkreditannya.
Supaya bisa dijurnal, tentu harus ada akun-nya terlebih dahulu. Jika belum ada, maka buat akunnya terlebih dahulu. Setelah akun tersedia, maka atas beban Bea Masuk, PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22) di atas dicatat dengan jurnal (tanggal 1 November 2011), sbb:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Atau dijurnal sekaligus, seperti di bawah ini juga bisa:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Catatan: Jika langsung dibayar tunai, akun “Utang” diganti dengan “Kas”. Seperti terlihat di atas, untuk sementara semua biaya terkait dengan impor berada di kelompok debit (aktiva).
Selanjutnya tinggal soal mengkreditkan saja. Pindah ke paragraf selanjutnya….
Anggap faktur pajak masukan (FPM) dan faktur pajak keluaran (FPK), semuanya sudah dijurnal dengan benar. Jika semua FPM dan FPK sudah dijurnal dengan benar, maka saldo PPN terutang angkanya pasti Rp 12,000,000 ( = Rp 15,000,000 – Rp 3,000,000)
Catatan: Lain kali saya akan bahas khusus jurnal PPN, mulai dari pembelian sampai penjualan.
Anggap saldo PPN Terutang-nya sudah benar, yaitu Rp 12,000,000. Jika PT. JAK TIDAK TAHU bahwa PPN impor-nya bisa dikreditkan, maka sudah pasti PT. JAK akan bayar semuanya, dengan jurnal:
[Debit]. Utang – PPN = Rp 12,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 12,000,000
Padahal, jika PT. JAK tahu PPN Impor-nya bisa dikreditkan, sebelum PPN terutang-nya dibayar seharusnya saldo akun ‘PPN Impor’ tadi dilawankan dengan ‘Utang PPN’ terlebih dahulu—artinya: PPN Impor yang tadinya ada di sisi debit dipindahkan ke sisi kredit, lawannya utang PPN di sisi debit:
[Debit]. Utang PPN = Rp 9,683,000
[Kredit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
Setelah jurnal pengkreditan PPN impor dimasukan maka otomatis saldo Utang PPN akan turun menjadi Rp 2,317,000 saja ( = Rp 12,000,000 – Rp 9,683,000). Dengan demikian, maka jurnal pembayaran PPN-nya menjadi:
[Debit]. Utang PPN = Rp 2,317,000
[Kredit]. Kas = Rp 2,137,000
Bandingkan Kas yang dikeluarkan antara yang sebelum dengan yang setelah PPN Impor dikreditkan, sangat jauh bukan? Sayang jika tidak dikreditkan. Tentu, bukti pembayaran PPN Impor harus disertakan dalam laporan PPN bersama-sama dengan faktur pajak masukan (FPM). Demikian terus setiap bulannya.
Nah itu baru pengkreditan PPN Impor-nya. Bagaimana dengan PPh Impor (Pasal 22)-nya? Nanti dikreditkan saat akan tutup buku tahun fiskal (31 Desember 2011).
Anggaplah Neraca PT JAK per 31 Desember 2011 menunjukan adanya ‘Utang PPh Pasal’ sebesar Rp 25,000,000 di sisi Passive (Kewajiban). Sementara itu di sisi aktiva ada saldo ‘Uang Muka Pajak (Pasal 25) menunjukan angka Rp 16,000,000 dan jangan lupa ada saldo PPh Impor juga sebesar Rp 7,262,250.
Sebelum Utang PPh dibayarkan perlu dibuatkan jurnal penyesuaian terlebih dahulu, untuk melawankan saldo uang muka pajak (PPh Pasal 25) dan mengkreditkan PPh Impor—sehingga saldo keduanya menjadi nol. Jurnal penyesuaiannya sbb:
[Debit]. Utang PPh = Rp 16,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 16,000,000
Dengan jurnal ini, maka saldo Uang Muka PPh (Pasal 25) menjadi nol, dan saldo Utang PPh berkurang sebesar yang sama sehingga tinggal Rp 9,000,000 ( = Rp 25,000,000 – Rp 16,000,000) saja.
Terakhir kreditkan PPh Impor (Pasal 22) dengan cara memindahkannya ke sisi kredit, dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh = Rp 7,262,250
[Kredit]. PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Dengan jurnal terakhir ini, maka saldo PPh Impor di aktiva jadi nol, dan saldo Utang PPh menurun sebesar yang sama sehingga saldonya tinggal Rp 1,737,750 ( = 9,000,000 – 7,262,250) saja. Nah angka saldo sebesar Rp 1,737,750 inilah yang dibayarkan. Saat dibayar jurnalnya:
[Debit]. Utang PPh (Pasal 29) = Rp 1,737,750
[Kredit]. Kas = Rp 1,737,750
Setelah pembayaran Utang PPh 29 dan jurnalnya dimasukan maka posisi saldo akan menjadi sbb:
Selanjutnya, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, lain kesempatan saya akan bahas perlakuan PPN dari pembelian bahan baku sampai ke pembayaran PPN penjualan. Mungkin PPh juga saya bahas, tetapi secara bertahap pastinya. Selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
Seiring perkembangan ekonomi dan terjangan arus ‘perdangan-global’ yang kian deras—terutama sekali perdagangan elektronik (komputer dan gadget), saat ini bahkan counter HP yang badan usahanya masih peroranganpun sudah biasa mengimpor barang, meskipun mungkin kebanyakan via Singapore.
Patut diapresiasi tinggi, teman-teman yang yang bergerak di ruang terbatas (usaha kecil dan modal kecil) memiliki kesadaran yang begitu tinggi untuk melaksanakan kewajiban pajak mereka.
Sudah pasti mereka, para importir kecil, bukan hanya terbatas dalam hal skala usaha dan modal, tetapi juga menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia.
Hanya saja, yang saya sayangkan (meskipun masih bisa saya pahami), dalam keterbatasan SDM, mereka rata-rata cenderung menomor-duakan kebutuhan akan pegawai accounting.
Salah satu kawan semasa sekolah dahulu, yang akhir pekan kemarin sengaja datang ke rumah untuk tanya-tanya soal pajak dan pembukuan mengatakan,
“Untuk sementara saya belum merasa perlu cari orang accounting, toh anak-anak toko bisa hitung pakai kalkulator”
(tapi kenyataannya sampai sengaja berkunjung untuk tanya-tanya soal pajak dan accounting, gumam saya dalam hati).
“Sepertinya lebih baik saya nambah pegawai toko daripada angkat pegawai kantor hanya untuk urus pembukuan dan pajak. Sedangkan urusan import toh sudah diurus oleh DHL/Fedex”, dia menambahkan.
Sekalilagi bisa saya pahami. Ini adalah salah satu pengusaha yang salah persepsi tentang accounting dan pegawai accounting. Mungkin kawan saya ini berpikir kalau orang accounting sama fungsinya dengan kalkulator. Entahlah. Tapi saya memilih untuk tidak memabahas hal itu, karena saya pikir dia datang untuk minta bantuan (bukan untuk debat).
Kembali ke masalah utama… langsung ke cara menghitung PPN dan PPh Impor saja (saya ulang Bea masuknya juga mendapat pemahaman yang utuh).
Cara Menghitung PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Mengenai custom clearance dan segala tetek-bengeknya, betul, jika pengiriman barang-impornya via kurir, sudah diurus oleh kurir—importir tinggal bayar ke mereka saja, tak perlu bayar ke Bea Cukai (DJBC) maupun ke kantor pajak.Tetapi, mereka tidak tahu kalau ada sebagian dari biaya yang dikeluarkan tersebut sesungguhnya merupakan kredit pajak—mengurangi beban kewajiban pajak lainnya:
- PPN Impor – Mengurangi PPN terhutang (Jika sudah PKP)
- PPh 22 (Impor) – Mengurangi PPh 29 Badan/Perorangan di SPT
Contoh Kasus:
Tanggal 1 November 2011 PT. JAK impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya kirim $500, asuransi $25. Tarif bea masuknya 15%. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah Rp 8000/1 USD.
Atas impor barang tersebut, maka, importir, membayar:
- Bea Masuk = ($10,000 + 500 + 25) x 15% = $1,578.75
- PPN Impor = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 10% = $1,210.38
- PPh Impor (Pasal 22) = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 7.5% = $907.78
- Bea Masuk = $1,578.75 x Rp 8000 = Rp 12,630,000
- PPN Impor = $1,210.38 x Rp 8000 = Rp 9,683,000
- PPh Impor (Pasal 22) = $907.78 x Rp 8000 = Rp 7,262,250
Dalam contoh kasus ini, anggaplah PT. JAK sudah PKP, maka kredit pajaknya adalah:
- PPN Impor = Rp 9,683,000
- PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Nah bagaimana mengkreditkan PPN dan PPh Impor? Sebelum ke situ, lebih baik jika saya bahas cara menjurnalnya terlebih dahulu, nanti sambil jalan saya bahas pengkreditannya.
Cara Menjurnal PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Saya tidak akan membahas tehnis pengisian formulir SPT PPN maupun PPh—saya yakin anda semua sudah tahu caranya (jika belum, bisa Googling kan?). Saya akan bahas jurnalnya saja. Tentu dengan logika dibalik jurnalnya. Sehingga setelah membaca ini, bukan saja anda bisa menjurnal PPN dan PPh Impor tetapi juga memahami logika pengkreditannya, termasuk cara menjurnal pengkreditannya itu sendiri.Supaya bisa dijurnal, tentu harus ada akun-nya terlebih dahulu. Jika belum ada, maka buat akunnya terlebih dahulu. Setelah akun tersedia, maka atas beban Bea Masuk, PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22) di atas dicatat dengan jurnal (tanggal 1 November 2011), sbb:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Atau dijurnal sekaligus, seperti di bawah ini juga bisa:
[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000
[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250
Catatan: Jika langsung dibayar tunai, akun “Utang” diganti dengan “Kas”. Seperti terlihat di atas, untuk sementara semua biaya terkait dengan impor berada di kelompok debit (aktiva).
Selanjutnya tinggal soal mengkreditkan saja. Pindah ke paragraf selanjutnya….
Mengkreditkan PPN dan PPh Impor
Setelah tutup buku bulan November 2011, diketahui PT. JAK ada penjualan lokal sebesar Rp 150,000,000. Disamping itu, ada pembelian bahan baku lokal dengan Faktur Pajak Masukan sebesar Rp 3,000,000. Berapa PPN Terutang PT. JAK untuk bulan November?Anggap faktur pajak masukan (FPM) dan faktur pajak keluaran (FPK), semuanya sudah dijurnal dengan benar. Jika semua FPM dan FPK sudah dijurnal dengan benar, maka saldo PPN terutang angkanya pasti Rp 12,000,000 ( = Rp 15,000,000 – Rp 3,000,000)
Catatan: Lain kali saya akan bahas khusus jurnal PPN, mulai dari pembelian sampai penjualan.
Anggap saldo PPN Terutang-nya sudah benar, yaitu Rp 12,000,000. Jika PT. JAK TIDAK TAHU bahwa PPN impor-nya bisa dikreditkan, maka sudah pasti PT. JAK akan bayar semuanya, dengan jurnal:
[Debit]. Utang – PPN = Rp 12,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 12,000,000
Padahal, jika PT. JAK tahu PPN Impor-nya bisa dikreditkan, sebelum PPN terutang-nya dibayar seharusnya saldo akun ‘PPN Impor’ tadi dilawankan dengan ‘Utang PPN’ terlebih dahulu—artinya: PPN Impor yang tadinya ada di sisi debit dipindahkan ke sisi kredit, lawannya utang PPN di sisi debit:
[Debit]. Utang PPN = Rp 9,683,000
[Kredit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
Setelah jurnal pengkreditan PPN impor dimasukan maka otomatis saldo Utang PPN akan turun menjadi Rp 2,317,000 saja ( = Rp 12,000,000 – Rp 9,683,000). Dengan demikian, maka jurnal pembayaran PPN-nya menjadi:
[Debit]. Utang PPN = Rp 2,317,000
[Kredit]. Kas = Rp 2,137,000
Bandingkan Kas yang dikeluarkan antara yang sebelum dengan yang setelah PPN Impor dikreditkan, sangat jauh bukan? Sayang jika tidak dikreditkan. Tentu, bukti pembayaran PPN Impor harus disertakan dalam laporan PPN bersama-sama dengan faktur pajak masukan (FPM). Demikian terus setiap bulannya.
Nah itu baru pengkreditan PPN Impor-nya. Bagaimana dengan PPh Impor (Pasal 22)-nya? Nanti dikreditkan saat akan tutup buku tahun fiskal (31 Desember 2011).
Anggaplah Neraca PT JAK per 31 Desember 2011 menunjukan adanya ‘Utang PPh Pasal’ sebesar Rp 25,000,000 di sisi Passive (Kewajiban). Sementara itu di sisi aktiva ada saldo ‘Uang Muka Pajak (Pasal 25) menunjukan angka Rp 16,000,000 dan jangan lupa ada saldo PPh Impor juga sebesar Rp 7,262,250.
Sebelum Utang PPh dibayarkan perlu dibuatkan jurnal penyesuaian terlebih dahulu, untuk melawankan saldo uang muka pajak (PPh Pasal 25) dan mengkreditkan PPh Impor—sehingga saldo keduanya menjadi nol. Jurnal penyesuaiannya sbb:
[Debit]. Utang PPh = Rp 16,000,000
[Kredit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 16,000,000
Dengan jurnal ini, maka saldo Uang Muka PPh (Pasal 25) menjadi nol, dan saldo Utang PPh berkurang sebesar yang sama sehingga tinggal Rp 9,000,000 ( = Rp 25,000,000 – Rp 16,000,000) saja.
Terakhir kreditkan PPh Impor (Pasal 22) dengan cara memindahkannya ke sisi kredit, dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh = Rp 7,262,250
[Kredit]. PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250
Dengan jurnal terakhir ini, maka saldo PPh Impor di aktiva jadi nol, dan saldo Utang PPh menurun sebesar yang sama sehingga saldonya tinggal Rp 1,737,750 ( = 9,000,000 – 7,262,250) saja. Nah angka saldo sebesar Rp 1,737,750 inilah yang dibayarkan. Saat dibayar jurnalnya:
[Debit]. Utang PPh (Pasal 29) = Rp 1,737,750
[Kredit]. Kas = Rp 1,737,750
Setelah pembayaran Utang PPh 29 dan jurnalnya dimasukan maka posisi saldo akan menjadi sbb:
- PPh Impor (Pasal 22) = 0
- Uang Muka PPh (Pasal 25) = 0
- Utang PPh (Pasal 29) tahun fiskal 2011 = 0
Selanjutnya, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, lain kesempatan saya akan bahas perlakuan PPN dari pembelian bahan baku sampai ke pembayaran PPN penjualan. Mungkin PPh juga saya bahas, tetapi secara bertahap pastinya. Selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
Tags
Tidak ada komentar:
Posting Komentar